Bagi Evelyn, Rumah Nomor 77 tampak seperti keajaiban di tengah himpitan ekonomi: sebuah hunian megah di kaki bukit dengan harga sewa yang tak masuk akal. Demi masa depan kedua adiknya, Arya dan Maya, ia mengabaikan nalurinya yang berteriak bahaya dan menandatangani kontrak dengan penjaga rumah yang misterius.
Namun, keheningan rumah tua itu bukanlah kedamaian, melainkan sebuah penantian.
Teror tidak datang dengan ledakan, melainkan merayap perlahan melalui celah-celah kewarasan. Dimulai dari aroma melati yang berbau anyir, denting piano sumbang di tengah malam, hingga perubahan perilaku Maya yang semakin dingin dan asing. Evelyn segera menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Dinding-dinding rumah itu menyimpan memori tentang cinta yang dikhianati dan janin yang tak pernah sempat menghirup udara dunia.
Bersama Bimo dan teman-temannya, Evelyn harus menguak tragedi masa lalu yang terkubur di bawah pohon kamboja sebelum rumah itu menelan mereka hidup-hidup.
Ketika masa lalu menuntut darah sebagai bayaran, seberapa jauh Evelyn berani melangkah untuk menyelamatkan keluarganya? Di Rumah Nomor 77, pintu keluar hanyalah ilusi, dan bayangan masa lalu menolak untuk dilupakan.